. Tumpukan kayu untuk bubur kertas di PT AHL, Kaltara 2019 ©Auriga Nusantara

APP dan Sinar Mas Group, buka dulu topengmu


Dugaan praktek atas-nama (nominee structure) pada kepemilikan/kepengurusan APP dan atau Sinarmas Grup. Ujian bagi Perpres Beneficial Ownership.

Koalisi Anti-Mafia Hutan mendesak pemerintah Indonesia mengambil langkah tegas setelah terungkapnya dugaan praktek kepemilikan/kepengurusan atas-nama (nominee structures) antara perusahaan pemasok kayu dengan industri Asia Pulp & Paper (APP) dan atau Sinar Mas Grup. Melalui laporan berjudul Tapi, Buka Dulu Topengmu, Koalisi Anti-Mafia Hutan mengungkap adanya indikasi keterkaitan erat antara 24 perusahaan pemasok kayu yang dinyatakan sebagai “mitra indepenen” oleh APP dengan Sinar Mas Grup, konglomerasi induk APP.  Laporan tersebut juga membedah struktur kepemilikan grup usaha kehutanan di dalam Sinar Mas Grup yang diduga kuat mengalir jauh hingga ke perusahaan-perusahaan di negara-surga-pajak (offshore jurisdiction).

Analisis ini merupakan respons terhadap pernyataan APP atas kasus perusahaan pemasok kayu ke industri milik APP, yaitu PT Bumi Mekar Hijau (BMH) dan PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industry (SBAWI) yang dibekukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pasca kebakaran hutan dan lahan gambut tahun 2015. Laporan yang dirilis hari ini  tersebut mengindikasikan pernyataan APP bahwa kedua perusahaan itu “dimiliki dan dioperasikan secara independen” adalah kebohongan publik. Di samping itu, analisis ini sekaligus sebagai kontribusi Koalisi untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas pelaku industri pulp-kertas dan sektor kehutanan di Indonesia. Laporan ini juga bermaksud mendukung upaya Pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2018 guna menerapkan prinsip mengenali pemilik manfaat korporasi.

Data yang menjadi sumber utama dalam analisis ini adalah profil perusahaan dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang tersedia bagi publik (dapat diakses). Analisis profil AHU menunjukkan bahwa mayoritas perusahaan HTI yang disebut “independen” ternyata terdaftar atau pernah terdaftar di alamat yang sama dengan kantor pusat Grup Sinar Mas di Jakarta dan/atau alamat yang sama dengan PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, salah satu pabrik APP di Serpong, Tangerang. Kepemilikan perusahaan tersebut mengalir ke delapan (8) individu, tujuh (7) di antaranya merupakan pegawai atau mantan pegawai di anak perusahaan Sinar Mas, termasuk Sinar Mas Forestry. Enam belas (16) individu lain yang terdaftar sebagai komisioner dan direktur ternyata bekerja atau pernah bekerja pada perusahaan Sinar Mas.

yang sama dengan Sinar Mas Grup juga terindikasi terjadi dengan dua (2) perusahaan HTI yang diusulkan oleh APP untuk menjadi pemasok jangka panjang, yakni PT Buana Megatama Jaya di Kalimantan Barat dan PT Bangun Rimba Sejahtera di Pulau Bangka, meski oleh pejabat APP disebut sebagai ”pemasok independen yang tidak memiliki afiliasi dengan APP atau Sinar Mas Grup”.

Berdasarkan analisis tersebut, terlihat pola yang kemungkinan seperti model kepemilikan nominee. Praktik kepemilikan nominee dilarang dalam UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Pasal 33 ayat (1)  UU tersebut “melarang perjanjian dan/atau pernyataan kepemilikan saham perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain.” Pelanggaran atas ketentuan di atas mengakibatkan perjanjian itu batal demi hukum. Kepemilikan nominee, biasa digunakan untuk mengakali batasan kepemilikan asing di suatu perusahaan pada investasi tertentu. Di samping itu, struktur nominee rentan digunakan untuk menyembunyikan identitas pemilik manfaat sebenarnya dari aset hasil kejahatan, dan pencucian uang.

 

Kepemilikan saham terhadap perusahaan pemegang merk APP, PT Purinusa Ekapersada, baik secara langsung maupun tidak langsung termasuk perusahaan-perusahaan di negara-surga-pajak (offshore jurisdiction), yakni 13 perusahaan di British Virgin Islands dan 7 perusahaan di Mauritius, Singapura, Jepang, dan Belanda. Selain pemilik manfaat utama (ultimate beneficial owners) perusahaan-perusahaan itu belum diketahui, keberadaan perusahaan-perusahaan di negara surga pajak ini patut dicurigai. Seringkali perusahaan cangkang (shell companies) di negara-negara tersebut dapat dipakai sebagai wahana untuk berbagai kejahatan ekonomi seperti penghindaran pajak, pencucian uang, dan menyembunyikan pemilik uang sebenarnya.
 

Kajian ini juga menunjukkan bahwa struktur kepemilikan PT Hutan Rindang Banua yang memiliki konsesi HTI seluas 265.095 ha di Kalimantan Selatan, mengalir hingga berujung ke kelompok usaha (holding companies) yang juga merupakan pemilik perusahaan HTI dan pabrik-pabrik yang selama ini disebut APP sebagai “milik sendiri”. Akan tetapi konsesi HTI milik GEAR ini tidak tercakup dalam Kebijakan Konservasi Hutan (FCP) APP, dan, setidaknya Mei 2018, belum menjadi bagian dari proses penyusunan roadmap Forest Stewardship Council (FSC) dengan APP — bahkan tumpang-tindih dengan konsesi pertambangan terbuka (open pit mining).
 

Penggunaan struktur kepemilikan “saham pinjam nama/nominee” dan kepemilikan saham oleh badan usaha di negara surga pajak merupakan praktik yang biasa di Indonesia (dan negara-negara lain), terutama di sektor sumber daya alam. Oleh sebab itu, Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2018, harus mendesak perusahaan di Indonesia untuk mengumumkan pemilik manfaat korporasi. Melalui akuntabilitas perusahaan di bidang sumber daya alam, akan membantu upaya penanggulangan kerusakan lingkungan, membatasi konflik antara perusahaan dan masyarakat, dan meningkatkan kinerja penerimaan pajak.

Atas dasar temuan analisis ini, Koalisi sulit untuk mempercayai informasi mendasar tentang operasi dan komitmen keberlanjutan APP yang mereka klaim telah lakukan sejak 2013. APP dan Sinar Mas Grup harus membuka informasi dasar mereka secara utuh ke publik, untuk dinilai secara independen. Bukan berupa hasil analisis konsultan yang diklaim independen seperti yang dilakukan saat ini.

Berdasarkan hal tersebut di atas, Koalisi Anti Mafia Hutan meminta dan mendesak kepada:

Presiden Republik Indonesia, agar:
  • menerapkan single identity number (SIN) sehingga menutup ruang bagi setiap orang untuk menggunakan informasi palsu;
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, agar:
  • (Bersama-sama Pemerintah) merevisi Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, guna memperjelas keberadaan pertanggungjawaban perusahaan induk, perusahaan anak, perusahaan grup, ataupun perusahaan Holding di dalam sistem hukum perseroan di Indonesia;
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, agar:
  • mewajibkan APP dan Sinar Mas Grup untuk mengungkapkan struktur perusahaan dan pemilik manfaat dari semua konsesi HTI dan izin kehutanan lainnya di bawah kendali kelompok, dan mengharuskan semua pemilik manfaat dari setiap perusahaan untuk menegaskan tanggung jawab utama mereka untuk memastikan bahwa aset kehutanan dan lahan gambut dikelola sepenuhnya sesuai dengan ketentuan perizinan yang berlaku;
  • mewajibkan APP dan Sinar Mas Grup untuk segera merilis rencana pasokan kayu jangka panjang yang kredibel dan dapat diverifikasi untuk masing-masing pabrik pulp yang dimiliki APP di Indonesia,
  • tidak memberikan land swap kepada perusahaan yang terafiliasi atau terkait dengan Sinar Mas Grup hingga diselesaikan pemeriksaan menyeluruh terhadap dugaan praktek penghindaran pajak (tax avoidance) dan praktek monopsoni oleh Sinar Mas Grup.
Kementerian Keuangan c.q Dirjen Pajak, agar:
  • melakukan audit terhadap kinerja pembayaran PPh badan maupun perorangan dari perusahaan-perusahaan maupun pengurus dan pemegang saham yang terafiliasi dengan Sinar Mas dan APP;
  • tinjau kembali ketentuan perjanjian pasokan kayu dan kontrak lainnya antara APP dan Sinar Mas Group dan perusahaan pemasok kayu yang dinyatakan oleh APP untuk menilai apakah transaksi antara pihak-pihak yang berafiliasi telah dilakukan dengan persyaratan yang merupakan pasar terbuka (arms-length transaction).
Kementerian Hukum dan HAM, agar:
  • memaksa perusahaan yang terafiliasi dengan Sinar Mas Grup untuk melakukan deklarasi pemilik manfaat sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2018;
  • mengevaluasi keberadaan pemilik saham yang patut diduga sebagai pemilik saham nominee di perusahaan yang terafiliasi Sinar Mas Grup;
  • memperbaiki sistem pembentukan badan hukum sehingga mampu mengidentifikasi sejak awal keberadaan pemilikan saham nominee dan perusahaan-perusahaan yang berada dalam satu rantai grup, kepemilikan saham silang, dan rangkap jabatan;
Otoritas Jasa Keuangan, agar:
  • melakukan audit menyeluruh terhadap kepatuhan dan keabsahaan informasi laporan perusahaan terafiliasi dengan Sinar Mas Grup yang telah go public;
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), agar:
  • melakukan pemeriksaan terhadap struktur usaha Sinar Mas Grup yang terindikasi melakukan praktik kepemilikan saham silang, integrasi vertikal, dan berpotensi melakuakn price fixing terhadap harga pasokan serat kayu ke industri yang dilarang berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999;
  • melakukan penindakan terhadap perusahaan-perusahaan yang terindikasi melakukan pelanggaran;
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), agar:
  • melakukan investigasi dan analisis potensi pencucian uang oleh perusahaan-perusahaan terkait Sinar Mas Grup, terutama melalui/oleh/dengan perusahaan-perusahan di negara-surga-pajak (offshore jurisdiction);
Asia Pulp & Paper dan Sinar Mas Grup, agar:
  • mematuhi mandat Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2018 paling lambat 31 Maret 2019 untuk mendeklarasikan pemilik manfaat untuk semua perusahaan yang disebut dalam Lampiran A dalam Tapi, Buka Dulu Topengmu;
  • mengungkapkan nama, pemegang saham hukum, dan pemilik manfaat dari semua entitas perusahaan yang dikendalikan oleh, berafiliasi dengan, dan / atau terkait dengan APP dan Sinar Mas Grup di semua yurisdiksi secara global;
  • merilis laporan keuangan yang diaudit untuk semua perusahaan konsesi HTI yang memasok serat kayu ke pabrik pulp APP di Indonesia. 

–##–

Laporan selengkapnya: Tapi, Buka Dulu Topengmu

Narahubung: