POIN KUNCI
- Badak sumatea bila punah bukan kepunahan spesies, melainkan kepunahan genus/marga.
- Sepakat bahwa badak sumatera sudah dalam keaadaan kritis dan banyak literatur yang sudah mengatakan seperti itu.
- Penurunan populasi badak sumatera sangat cepat bahkan kurang dari 1 generasi.
- Informasi publik harus baik, benar dan tidak menyesatkan. Sehingga dalam pengambilan keputusan juga tepat.
- Di amerika punya endangered spesies act juga memasukan critical habitat sedangkan di Indonesia belum sampai kesana, padahal di indonesia kotoran sampai tulang belulang saja dilindungi akan tetapi habitatnya tidak dan tentu saja itu menjadi ironis.
RINGKASAN
Badak sumatera telah lama mendapat tekanan dari manusia. Tekanan yang di timbulkan dari aktifitas manusia berupa ancaman perburuan hanya untuk mengambil culanya. Karena kemampuan reproduksi badak yang rendah, sementara perburuan terus terjadi menyebabkan penurunan populasi dan kepunahan lokal, seperti di Taman Nasional Kerinci Seblat.
Sukianto Rusli, Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia (YABI) menyampaikan bahwa Badak sumatera bila mengalami kepunahan bukan saja kepunahan pada spesies, melainkan kepunahan pada genus/marga. Dan kondisi badak yang semakin mengkhawatirkan dan sudah dibuktikan dengan banyaknya literatur yang sudah menyebutkan seperti itu. Jadi diperlukan informasi yang jelas terkait badak sumatera, karena tanpa ada informasi yang cukup dan baik sulit untuk mengambil keputusan dan tanpa informasi yang cukup sulit untuk melibatkan peran serta para pihak akan kurang baik.
Sukianto Rusli juga menyampaikan Pemikiran – pemikiran dari Yayasan Badak Indonesia (YABI), pertama untuk badak jawa perlu diadakan habitat kedua sedangkan untuk badak sumatera diharapakan sampai tahun 2025 akan ada anakan badak sumatera sebanyak 10 ekor dan sejauh ini baru ada 2 bayi badak yang sudah lahir. Kedua bagaimana kedepannya badak-badak ini akan dipindakan dihabitat barunya dan tentu ini terkait dengan daya dukung habitatnya yang baru. Ketiga terkait ancaman pada mamalia besar, hal ini dikarenkan masifnya jerat yang ada dihabitatnya sehingga Rhino Protection Unit (RPU) masih sangat diperlukan. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan perhatian lebih besar dari pemerintah terkait pembiayaan – pembiayaan konservasi.
Sunarto selaku Research Associate, Institute for Sustainable Earth & Resources - Universitas Indonesia memaparkan bahwa pertanyaan yang paling umum adalah berapa jumlah badak yang ada dan hal tersebut adalah pertanyaan simple tapi sulit dijawab. Apalagi satwa yang sudah sangat langka seperti badak sumatera akhirnya kita sepakat tidak usah ditanya lagi jumlahnya berapa yang jelas sudah sangat langka dan sudah terlalu langka untuk dihitung. Untuk populasi masih ada dialam akan tetapi tidak ada yang tau kondisi pastinya seperti apa.
Tantangan dalam penyelamatan badak sumatera saat ini adalah Ecological Allee Effect, Social Allee Effect dan Political Allee Effect. Pengambilan keputusan menjadi begitu kompleks karena banyaknya orang yang peduli dan justru itu bisa jadi penghambat juga, sehinggal Sosial Allee Effect menjadi tantangan baru. Sedangkan Political Allee Effect berpengaruh karena lambatnya pengambil keputusan, karena didalam suatu keputusan ada resiko-resiko yang harus ditanggung.
Solusi yang ditawarkan berupa Implementasi tindakan mendesak secara adaptif dan sinergis oleh pemegang mandat dan mitra kunci, Pemahaman publik terkait perlunya tindakan termasuk resiko yang perlu diambil untuk penyelamatan dan Dukungan sumberdaya, kebijakan dan moril bagi pengambil tindakan dan pelaksana dilapangan.
Gede Narayana, Ketua Komisi Informasi Pusat menyampaikan Informasi terkait konservasi badak seperti bagaimana kondisi konservasi badak dan berapa jumlah populasi badak merupakan hak bagi semua warga negara dan dilindungi oleh undang-undang tentang hak memperoleh informasi. Selain itu informasi publik harus baik, benar dan tidak menyesatkan. Sehingga dalam pengambilan keputusan juga tepat.
Gede Naraya juga menambahkan bahwa ranah kewenangan Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia menyelesaikan sidang sengketa, dan penyelesaian sidang sengketa bukan antar badan publik, melainkan antar pemohon dan termohon. Pemohon adalah setiap warga negara, organisasi berbadan hukum dan kelompok orang. Termohon adalah badan publik. Berdasarkan hal-hal tersebut maka mari kita membumikan keterbukaan informasi publik dengan baik, benar dan sesuai aturan kepada semua pihak.
Seluruh acara dapat disimak di Kanal Youtube Auriga Nusantara.
NARASUMBER:
- Sukianto Rusli (Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia): Status Konservasi dan Ancaman Badak Sumatera
- Sunarto (Research Associate, Institute for Sustainable Earth & Resources - Universitas Indonesia): Saat Kritis Menyelamatkan Badak Sumatera.
- Gede Narayana (Ketua Komisi Informasi Pusat): Klasifikasi Informasi Privat dan Publik pada Konservasi Spesies.