Rekaman drone yang diulas oleh Lucida dan wawancara dengan masyarakat adat Laman Kinipan menunjukkan bahwa Grup CBI terhubung dengan deforestasi lahan yang telah dihuni oleh masyarakat Kinipan sejak tahun 1870 melalui anak perusahaannya, PT Sawit Mandiri Lestari (SML). Masyarakat Kinipan melanjutkan tradisi budaya dan adat istiadat yang telah turun temurun, seperti bertani dan berburu. Bagi mereka, hutan merupakan sumber kayu ulin untuk bahan bangunan, madu hutan di pohon tapan, dan obat-obatan tradisional.
Sejak 2005, warga Desa Kinipan telah menolak upaya PT SML untuk mengembangkan lahan mereka dengan mengirim surat kepada Bupati Lamandau yang menyatakan penolakan mereka terhadap perkebunan sawit. Terlepas dari protes warga, Bupati telah mengeluarkan beberapa izin dan persetujuan yang diperlukan kepada PT SML.
Setelah kegiatan pembukaan lahan dimulai pada Januari 2018, penduduk desa mengundang manajemen PT SML untuk bertemu untuk mencoba menyelesaikan sengketa kepemilikan lahan mereka; namun, dalam wawancara, penduduk desa menyatakan bahwa PT SML tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Baru-baru ini, pada pertengahan 2020, warga membuat pos jaga dan memasang blokade di jalan yang digunakan PT SML untuk membuka hutan adat Laman Kinipan. Aksi ini berujung pada penangkapan lima warga Desa Kinipan dan Batu Tambun dengan tuduhan merusak alat berat dan gergaji mesin yang digunakan PT SML.
Bentrokan masyarakat Kinipan dengan PT SML memuncak pada Agustus lalu, ketika tokoh adat mereka, Effendi Buhing, ditangkap aparat Polda Kalteng dengan tuduhan memerintahkan pencurian dan tindak kekerasan. Setelah penangkapannya, anggota masyarakat membuat petisi change.org dan mengorganisir konferensi pers menuntut pembebasan Buhing dan lima warga Kinipan lainnya. Selain itu, Panglima Jilah, pemimpin pasukan pertahanan masyarakat adat yang dikenal dengan “Pasukan Merah”, memberikan ultimatum melalui video pendek dengan mengancam akan mengerahkan pasukan ke seluruh Kalimantan Tengah jika Effendi Buhing tidak dibebaskan. Effendi Buhing dibebaskan setelah sekitar 24 jam.
Warga juga menuduh PT SML mencemari sungai yang menjadi sumber air minum masyarakat, yang mengalir dari wilayah yang saat ini dikuasai PT SML. Warga desa menyatakan banyak ikan yang mati karena keracunan. Namun, pengujian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi dampak lingkungan dan sosial.