-
Auriga Nusantara dan Earthsight merilis bukti-bukti yang mengindikasikan keterhubungan satu perusahaan kehutanan raksasa dengan bencana banjir dan longsor di Sumatera Utara pada akhir 2025 karena praktik illegal logging dan deforestasi massif dalam konsesinya.
-
Pemerintah dan masyarakat sipil Indonesia telah menyampaikan bahwa deforestasi turut memperparah banjir dan longsor yang menewaskan lebih dari 1.100 orang sejak 26 November 2025.
-
Di Batang Toru, salah satu area yang mengalami kerusakan terparah, terlihat arus air membawa gelondongan kayu dan puing tebangan yang menyapu segala sesuatu yang menghalanginya. Video-video yang merekam arus mematikan ini beredar luas dengan jutaan views di media sosial dan memicu kemarahan publik.
-
Melalui analisis citra satelit dan pengecekan lapangan, Auriga Nusantara dan Earthsight menemukan tumpukan kayu yang diduga ditebang secara ilegal (illegal logging) dan hamparan luas pembabatan hutan alam (deforestasi) di dalam konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL), yang tampak meluas ratusan hektare ke luar area izin perusahaan. Hutan-hutan yang dibabat tersebut berada di hulu area banjir pada DAS Batang Toru, DAS Sibundong, dan DAS Kolang yang sebagiannya berada di lereng curam, dalam area yang ditetapkan sebagai area dilindungi serta secara formal dikategorikan berisiko tinggi longsor. Citra satelit memperlihatkan adanya longsor tepat di sebelah area pembabatan hutan.
-
TPL sebelumnya pernah mengklaim kegiatan seperti itu dilakukan oleh pihak ketiga, namun gambar udara dan informasi lapangan yang dikumpulkan Auriga/Earthsight mengindikasikan keterlibatan perusahaan atau setidaknya menangguk keuntungan dari kegiatan tersebut dengan menanami kebun kayu ekaliptus di atasnya.
-
Kami menelusuri produk pulp yang diproduksi TPL yang bermuara ke salah satu pabrik besar dan pengekspor rayon dari serat kayu, yang digunakan dalam produksi pakaian dan produk lain yang dijual di berbagai belahan dunia.
-
Menanggapi temuan-temuan tersebut, TPL menegaskan bahwa semua kegiatannya sesuatu aturan, bahwa perusahaan tidak menebang hutan alam, serta bahwa tidak ada hubungan antara banjir dan tanah longsor dengan aktivitas perusahaan.
Aktivis lingkungan di Indonesia mengarahkan telunjuk ke perusahaan-perusahaan tambang dan kehutanan sebagai biang bencana dengan tudingan deforestasi yang dilakukannya di Sumatera. Investigasi Auriga Nusantara dan Earthsight mengidentifikasi ratusan hektare deforestasi yang patut diduga ilegal di dalam konsesi salah satu perusahaan ini, yang terjadi di bagian hulu salah satu daerah yang terdampak paling parah.
Perusahaan tersebut —PT Toba Pulp Lestari— merupakan pemasok utama pulp kayu ke satu pabrik yang memproduksi serat selulosa untuk bahan kain, yang pada ujungnya dijual ke konsumen di Amerika Serikat dan Eropa. Kejadian ini mengetengahkan konsekuensi mengerikan kerusakan lingkungan yang didorong oleh konsumsi global dan perdagangan produk kayu yang tidak diatur dengan baik (under-regulated).

Banjir berkayu yang mematikan
Hujan lebat Siklon Senyar sejak akhir November memicu banjir bandang dan longsor di sebagian besar Sumatera Bagian Utara, yang merupakan area terdampak paling parah di Asia Tenggara. Lebih dari satu juta orang dievakuasi, sementara runtuhnya jembatan dan rusaknya jalan mengakibatkan banyak daerah terisolir sehingga mempersulit datangnya bantuan dan rescue.Salah satu daerah terdampak paling parah adalah Tapanuli, Sumatera Utara, termasuk daerah aliran sungai (DAS) Batang Toru. Di daerah ini, per 22 Desember 2025, dilaporkan setidaknya 257 korban jiwa. Di daerah ini, terekam arus banjir membawa sejumlah besar kayu gelondongan berikut puing-puing kayu sebagaimana tersiar heboh di jagad media sosial.
Dari semua pulau di Indonesia, Sumatera merupakan pulau terparah diterpa deforestasi dalam beberapa dekade terakhir. Pulau ini telah kehilangan sekitar separuh hutan alamnya pada rentang 1990 hingga 2020. Sebagian besarnya dibabat untuk membangun kebun sawit atau kebun kayu yang dipakai memproduksi pulp dan kertas. Padahal, hutan alam sangat berjasa meredam pukulan air hujan dan limpasan aliran permukaan, serta stabilisasi tanah, sehingga area terdeforestasi akan jauh lebih rentan banjir dan atau longsor oleh cuaca ekstrim.
Pemerintah Indonesia menunjuk deforestasi besar-besaran di Sumatera sebagai salah satu faktor kunci dalam bencana ini, sebagaimana Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat pada Rabu, 3 Desember 2025 menyatakan: “Kejadian bencana ini tidak semata-mata karena alam.” Saat mengunjungi pengungsi korban banjir di Aceh, Presiden Prabowo Subianto mengatakan: “alam harus kita jaga, kita tidak boleh tebang pohon sembarangan.” Saat mengunjungi korban banjir di Sumatera Utara dia menegaskan pemerintah akan dan telah mulai menertibkan pembakalan liar.
Pada 1 Desember 2025, Menteri Hanif mengumumkan bahwa kementerian yang dipimpinnya memiliki bukti delapan perusahaan yang aktivitasnya diduga berkontribusi terhadap banjir dan longsor yang terjadi di Tapanuli. Kemudian, pada 15 Desember 2025, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengumumkan bahwa presiden telah memerintahkan audit dan evaluasi terhadap perusahaan kebun kayu PT Toba Pulp Lestari (TPL), yang mengelola berbagai blok lahan skala luas di Sumatera Utara.
TPL juga termasuk di antara tujuh perusahaan yang disebut oleh Walhi Sumatera Utara sebagai pihak yang berkontribusi terhadap banjir dan longsor di Tapanuli melalui aktivitasnya membabat hutan alam dan merusak ekosistem.
Investigasi terkini Auriga Nusantara dan Earthsight menemukan bukti-bukti yang mendukung dugaan tersebut: kami mendokumentasikan adanya hamparan luas hutan alam dilindungi yang dibabat di bagian hulu area bencana, termasuk pada lereng curam, dalam konsesi TPL, serta area longsor bersebelahan dengan area deforestasi tersebut.
Deforestasi massif
Analisis kami terhadap citra satelit untuk area berhutan di dataran tinggi DAS Batang Toru, DAS Sibundong, dan DAS Kolang pada tahun-tahun sebelum bencana mengidentifikasi tiga blok deforestasi besar atau penebangan terbaru. Salah satunya berada pada satu sektor konsesi TPL, yang mana perusahaan ini memiliki izin mengembangkan kebun kayu monokultur ekaliptus guna memasok pabrik pulp besarnya.Kami menemukan bahwa rentang Maret 2021 hingga 1 Desember 2025 seluas 758 hektare hutan belantara dataran tinggi alami telah dibabat di Sektor Aek Raja konsesi TPL. Logging skala besar dan pembuldoseran hutan alam bahkan meluas hingga 125 hektare ke luar konsesi.
Secara keseluruhan, area yang dibabat ini mencapai 3 kali luas kawasan Gelora Bung Karno. Setelah berlangsung dengan kecepatan stabil selama beberapa tahun, deforestasi ini melonjak pesat pada beberapa minggu menjelang terjadinya bencana, mencapai seluas satu lapangan bola setiap hari.

Deforestasi ini berlanjut hingga November 2025, tepat sebelum bencana banjir dan longsor terjadi. Citra satelit 1 Desember 2025, tak berselang lama setelahnya, memperlihatkan adanya longsor yang terjadi bersebelahan dengan area deforestasi tersebut (lihat gambar di bawah).


Berdasarkan peta yang diterbitkan Pemerintah Indonesia, area ini, yang mencakup area-area terjal, sangat berisiko longsor. Sejalan dengan itu, konsesi TPL di daerah ini berada dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas, yang mana pembabatan hutan biasanya tidak diizinkan. TPL sendiri menyadari situasi ini dengan menyampaikan bahwa 11.315 hektare di dalam Sektor Aek Raja–seperempat dari sektor ini–merupakan Kawasan Hutan Lindung, namun–berdasar peta yang tersedia ke publik–deforestasi yang kami temukan ini justru terjadi di dalamnya. Dengan demikian, deforestasi ini tidak hanya destruktif, namun juga patut diduga sepenuhnya ilegal.
Penilaian (assessment) TPL sendiri terhadap hutan-hutan eksisting dalam konsesinya, yang diterbitkan pada 2024, menyimpulkan area yang dibabat dalam konsesinya ini merupakan habitat satwa terancam punah, dan juga sangat penting untuk pengendalian erosi pada area-area rentan di kelerengan curam. Peta habitat orangutan yang diterbitkan pada 2019 mengidentifikasi area deforestasi ini berpotensi sebagai habitat orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), satu spesies unik yang hanya ditemukan di ekosistem Batang Toru dan merupakan yang paling terancam punah dari seluruh kera besar.
Menanggapi temuan Auriga/Earthsight, TPL menyampaikan penyelidikan mereka “tidak mengidentifikasi adanya pembabatan hutan seluas 883 hektare di area yang dirujuk". TPL justru merujuk area di dekatnya yang disebut dikelola masyarakat, yang disebut "dikelola di bawah skema Kemitraan Kehutanan (Forest Partnership scheme), yang diimplementasikan sesuai dengan peraturan yang berlaku". Peta kemitraan kehutanan yang disampaikan TPL berada di sebelah utara area deforestasi yang dideteksi Auriga/Earthsight, dan tidak tumpang-tindih sama sekali.
Lebih lanjut, TPL menyampaikan bahwa “berdasarkan data spasial, hidrografi, topografi, dan operasional”, tidak ada longsor atau banjir yang dapat dikaitkan dengan aktivitas perusahaan. Namun bukti yang disampaikan TPL hanya mengenai kebun kayunya di Tapanuli Selatan dan lokasi banjir di DAS Nabirong dan di anak-anak sungai Batang Toru di Sipirok. Padahal, Auriga/Earthsight tidak sedang menuduh banjir di area tersebut berkorelasi dengan aktivitas TPL di Sektor Aek Raja di Tapanuli Utara, karena area yang dideteksi Auriga/Earthsight ini bukan merupakan hulu sungai-sungai di Tapanuli Selatan tersebut, melainkan bahwa aktivitas di Sektor Aek Raja berkorelasi dengan longsor dan banjir Aek Raja dan sekitarnya.
TPL juga menegaskan tidak menebang hutan alam, mematuhi seluruh peraturan terkait, dan melindungi hutan bernilai konservasi tinggi.
Pada 6 Desember 2025, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Ditjen Gakkum) Kementerian Kehutanan mengumumkan telah menyegel lima lokasi di Tapanuli yang teridentifikasi berpotensi berkontribusi terhadap bencana banjir dan longsor ini, termasuk dua lokasi di dalam konsesi TPL.
Penyegelan tersebut, sebagaimana disampaikan ke publik, bertujuan “mengamankan lokasi, mencegah kegiatan lanjutan yang dapat memperparah kondisi, serta untuk memperoleh bukti-bukti hukum yang kuat untuk proses penegakan hukum lebih lanjut.” Ditjen Gakkum menyatakan sedang berkordinasi dengan Kepolisian Republik Indonesia untuk bersama-sama melakukan penindakan pidana terhadap pihak-pihak yang diduga berkontribusi terhadap bencana banjir, termasuk penggunaan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang untuk menelusuri dan menyita aset.
Perihal tindakan Pemerintah Indonesia yang menghentikan sementara kegiatan TPL dan akan melaksanakan audit, TPL menyampaikan kepada Auriga/Earthsight bahwa perusahaan telah “melaksanakan semua kegiatan sesuai dengan peraturan perundangan” dan bahwa tindakan yang diambil oleh pemerintah adalah bagian dari “proses pengumpulan informasi dan melengkapi bukti-bukti” yang “bukan sebagai bentuk sanksi atau penetapan pelanggaran yang telah terbukti.”
Dugaan deforestasi dan pelanggaran HAM yang berulang
Deforestasi di area ini pernah diekspos sebelumnya: pada Juli 2024 Rainforest Action Network (RAN) melaporkan adanya deforestasi di Sektor Aek Raja pada 2015-2023. Menanggapinya, TPL menyampaikan bahwa kegiatan tersebut merupakan perambahan liar dan illegal logging oleh pihak ketiga, serta mengaku telah melaporkannya ke pihak berwenang pada 2023.Argumen seperti itu rasanya tidak berlaku untuk temuan Auriga/Earthsight ini. Analisis citra satelit mengindikasikan kegiatan pembukaan lahan tersebut merupakan pola yang biasa terjadi pada kegiatan pembangunan kebun kayu skala industri, bukan oleh perambahan pertanian skala kecil (smallholder) yang biasanya dalam luasan kecil dan sporadis. Bukan pula pola degradasi yang biasa terjadi pada kegiatan tebang pilih atau illegal logging. Selain tidak ada pemukiman di daerah tersebut, tentu dibutuhkan modal dan upaya besar membangun jalan akses, sekitar 30 km, apalagi harus melalui medan terjal dan butuh jembatan untuk menyeberangi banyak sungai dan anak sungai. Setidaknya dibutuhkan 2000 truk besar untuk mengangkut kayu-kayu tebangan tersebut.
Bukti-bukti yang dikumpulkan Auriga/Earthsight melalui pemantauan lapangan pada Desember 2025 meneguhkan skala industrial kegiatan tersebut, pun mendokumentasikan adanya longsor yang patut diduga disebabkan atau berkorelasi dengan kegiatan-kegiatan tersebut (lihat gambar di bawah). Kami juga mendokumentasikan adanya kegiatan logging di lereng yang sangat curam, hal yang tidak dibolehkan oleh regulasi.
Kunjungan lapangan juga mendokumentasikan keberadaan alat berat dan gelondongan kayu alam –tanpa tanda-tanda keabsahan yang diwajibkan regulasi– yang ditumpuk di pinggir jalan dan berdekatan dengan tanaman ekaliptus. Akan sangat aneh bila kegiatan tersebut dapat dilaksanakan leluasa oleh pihak ketiga tanpa sepengetahuan TPL.
Selain itu, banyak area deforestasi dan bekas tebangan (logging) yang lantas berganti menjadi tutupan ekaliptus yang hamper bisa dipastikan merupakan tanaman TPL. Citra satelit resolusi sangat tinggi (resolusi 0,5 meter) per September 2025 juga menunjukkan area-area yang ditebang dan dibabat sebelumnya banyak yang berganti dengan tutupan kebun kayu monokultur – hal yang rasanya mustahil dilakukan pembalak liar.

Bilapun illegal logging dan atau pembabatan hutan itu dilakukan pihak ketiga, TPL bisa saja mencegahnya dengan, sebutlah, memasang portal pada jalan yang menuju lokasi tersebut sehingga truk dan alat berat tidak bisa masuk atau keluar dari lokasi. Tak hanya itu, TPL tak bisa lepas tangan atas kegiatan tersebut karena memiliki tanggung jawab hukum atas kerusakan lingkungan atau deforestasi yang terjadi di dalam konsesinya. Laporan perusahaan yang diterbitkan pada 2024 juga menegaskan komitmen “melindungi kawasan hutan dari aktivitas ilegal.” Setidaknya, TPL gagal memenuhi hal tersebut.
Informasi dari tempat lain di Sumatera Utara mengindikasikan kejadian seperti ini bukan semata kelalaian, tapi terbuka kemungkinan illegal logging diundang atau dibiarkan terjadi, kemudian perusahaan menangguk keuntungan ketika pemerintah memberikan lampu hijau “penghutanan kembali” dengan tanaman monokultur ekaliptus. Dengan cara itu, perusahaan dapat terus memperluas kebun kayu ekaliptus sembari mengklaim tidak melakukan deforestasi.
Bukti lain yang sejalan dengan dugaan di atas dapat dilihat dalam dokumen perusahaan yang diterbitkan pada 2024 dan satu laporan audit Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di tahun yang sama. Kedua dokumen tersebut merujuk kegiatan “pemulihan” atau “pengayaan” (dengan menanami monokultur ekaliptus) oleh TPL pada hutan lindung di dalam konsesinya. Tidak ada penjelasan di dalam dokumen tersebut kenapa hutan lindung perlu “dipulihkan”, namun illegal logging oleh pihak ketiga yang misterius bisa jadi alasannya.
Menanggapi Auriga/Earthsight, TPL mengaku melakukan penanaman ekaliptus di area yang rusak oleh “kegiatan pihak ketiga yang tidak sah”, namun menyatakan bahwa hal tersebut merupakan kewajiban perusahaan sebagaimana perizinannya. Perusahaan menyatakan bahwa “penafsiran apapun yang menyamakan … kegiatan rehabilitas atau pengayaan [di area terganggu tersebut] sebagai pengakuan keterlibatan TPL dalam illegal logging adalah tidak akurat.”
Lantas, ke mana otoritas, terutama Direktorat Jenderal Produksi Hutan Lestari dan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum –keduanya di bawah Menteri Kehutanan– pada semua kejadian ini? Jika benar TPL telah melaporkannya pada 2023, kenapa tidak ada upaya menghentikannya? Kenapa pemerintah tidak bertindak? Kenapa TPL tidak terus mendesak pemerintah bertindak kalau tak kunjung hadir penanganannya?
Ketika ditanya pihak berwenang mana saja yang dihubungi pada tahun 2023 dan upaya tindak lanjut apa yang telah dilakukan perusahaan untuk memastikan adanyan penanganan memadai, TPL mengatakan kepada Auriga/Earthsight bahwa aktivitas ilegal tersebut “dilaporkan kepada pihak berwenang terkait dengan tembusan kepada Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah XII Tarutung, Kepala Desa dan Camat pada tanggal 10 November 2023”. TPL tidak menyebut adanya komunikasi lebih lanjut, dan menolak membagi salinan laporan tersebut kepada Auriga/Earthsight dengan dalih “sedang dalam … proses penegakan hukum.”
Bahkan, bila pun pihak berwenang tidak dilapori oleh TPL sebagaimana diklaimnya, adalah sebuah kelalaian luar biasa bila hal sebesar itu terjadi di depan mata otoritas sedemikian lama.
“Komisi Pemberantasan Korupsi harus menyelidiki kenapa otoritas tutup mata selama ini,” demikian Timer Manurung, Ketua Auriga Nusantara. “Sulit diterima akal sehat kejadian dengan skala seperti ini terjadi selama 4 tahun tanpa sepengetahuan atau bahkan keterlibatan PT Toba Pulp Lestari dan otoritas setempat,” pungkasnya.
“Sementara itu, TPL pun telah berulang kali dituding melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam konfliknya dengan masyarakat setempat. Dalam insiden terbaru pada 23 September 2025, sekitar 150 orang diduga pekerja, buruh harian lepas, dan satuan pengamanan TPL menyerang dan melukai sekitar 30 orang masyarakat adat Sihaporas, keturunan Ompu Mamontang Laut Sihaporas di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, yang sedang bertani di lahan kelola mereka tak terlalu jauh dari Danau Toba. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia mengecam keras kekerasan oleh TPL terhadap warga tersebut dan menyatakan bahwa dalam insiden tersebut diduga kuat telah terjadi pelanggaran HAM, antara lain hak atas rasa aman, hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, budaya, dan pelanggaran prinsip bisnis dan HAM sebagaimana termuat dalam United Nation Guiding Principles on Business and Human Rights.
Saat dikasih kesempatan menanggapi hal ini kepada Auriga/Earthsight, TPL merujuk pada pernyataan sebelumnya.
Tautan rantai pasok
Lantas, apa yang terjadi dengan kayu yang dihasilkan melalui penebangan dan pembabatan hutan alam dalam konsesi TPL? Earthsight/Auriga menganalisis data yang dilaporkan perusahaan kepada pemerintah yang tercantum dalam Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI), yang berisi informasi detail dari mana dan dalam jumlah berapa kayu gelondongan atau kayu setengah jadi ditampung sebuah industri. Kami tidak menemukan adanya kayu alam (berbeda dengan kayu tanaman) yang dilaporkan diterima pabrik TPL pada rentang 2021-2024.Earthsight mengestimasi sekitar 80.000 m3 kayu bulat tropis dari area deforestasi ini sebelum seluruh vegetasi yang ada di dalamnya dibabat habis (land clearing) pada rentang 2021 - November 2025. Karena pabrik TPL tidak melaporkan adanya kayu seperti ini memasoknya, patut diduga kayu-kayu ini dikirim ke industri pengolahan kayu di tempat lain atau masuk dalam rantai pasok perusahaan tanpa dilaporkan ke RPBBI yang dikelola Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.
Ke mana produk pulp TPL mengalir jauh lebih jelas. Sebanyak 64% bahan baku yang dipakai pabrik TPL bersumber dari kebun kayu monokultur ekaliptus yang ditanamnya di dalam konsesi TPL di Sumatera Utara. Laporan tahunan terbaru TPL, yakni laporan tahunan 2024, menyebutkan bahwa 98,23% penjualan TPL ditujukan ke PT Asia Pacific Rayon (APR), bagian dari grup usaha Royal Golden Eagle (RGE Group), salah satu grup usaha kebun kayu dan kehutanan terbesar di Indonesia, yang kerap dituding terlibat deforestasi ilegal dan pelanggaran HAM pada 15 tahun terakhir.
APR memiliki pabrik berkapasitas 325.000 ton di Riau, yang memproduksi serat rayon viskosa (viscose rayon fibre) yang digunakan untuk pembuatan kain dan terbuat dari selulosa, biasanya serat kayu pulp. Laporan tahunan 2024 APR menyebutkan 43% bahan bakunya berasal dari TPL.
Produksi rayon untuk pakaian merupakan salah satu pengguna besar produk kayu, mengkonsumsi 200 juta pohon per tahun, menurut organisasi Canopy, yang juga memperingatkan bahwa hampir separuh produksi global berasal dari hutan purba atau hutan alam terancam punah. APR – salah satu produsen terbesar di dunia – berada di peringkat keberlanjutan ke-27 dari 30 produsen dalam 2025 Hot Button Report yang dirilis Canopy.
Berdasarkan data bea cukai Indonesia yang diperoleh dan dianalisis Earthsight, APR mengekspor rayon viskosa senilai 232 juta dollar Amerika Serikat, setara Rp 3,87 triliun, pada Januari - Oktober 2025, sebagian besar dijual ke Turki, Bangladesh, Pakistan, dan India. Konsumen APR di negara-negara ini memproduksi pakaian rayon dan barang-barang lainnya untuk diekspor ke AS, Uni Eropa, dan Inggris – rantai pasok lanjutan sebagaimana disebut dalam situs APR.
Kami telah mengidentifikasi keterhubungan rantai pasok TPL ini hingga ke pengedar ternama di Amerika Serikat dan Eropa, dan berencana merilisnya pada awal 2026.

Janji-janji palsu
Deforestasi dalam konsesi TPL ini bertentangan dengan kebijakan-kebijakan keberlanjutan yang disebutkan berbagai perusahaan sepanjang rantai pasoknya. Kebijakan keberlanjutan TPL saat ini menyatakan perusahaan dan pemasoknya "berhenti menebang hutan alam" per 30 Juni 2014. Merespon kecaman internasional terhadap operasionalnya, Royal Golden Eagle (RGE) mengadopsi kebijakan zero deforestation di seluruh perusahaannya pada 2015. Sementara, anak usaha RGE, yakni APR, melalui kebijakan keberlanjutan 2024-nya mengklaim bahwa perusahaan tidak menerima bahan baku dari "area-area di mana terjadi konversi hutan alam menjadi kebun kayu."Tak hanya itu, baik RGE maupun TPL menjanjikan mengidentifikasi dan melindungi semua hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi (NKT atau High Conservation Value - HCV) dan Stok Karbon Tinggi (SKT atau High Carbon Stock - HCS) di dalam konsesinya.
Sebagai jaminan kepada para pembelinya, pada 2019 APR meluncurkan sistem publik bernama “Follow Our Fibre”, yang memungkinkan pengguna melacak sumber serat hingga ke titik tebangan. Pada tahun 2024 sistem ini justru di-non-aktif-kan dari ruang publik (offline), dengan alasan untuk menyesuaikan (refine) sistem agar memenuhi persyaratan Peraturan Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation Regulation - EUDR) yang akan datang, yang mewajibkan perusahaan pemasok ke Eropa melacak muasal produk hingga ke titik tebang/panenan serta memastikan tiadanya deforestasi di sana sejak 2020.
Kejadian sebagaimana dalam laporan Earthsight/Auriga ini memantik pertanyaan jangan-jangan alasan sebenarnya penonaktifan tersebut adalah karena APR tidak ingin pembelinya bisa melacak muasal produknya – dan mengungkap praktik kotornya.
Dihadapkan dengan memori tragis konsekuensi deforestasi tak terkendali, Pemerintah Indonesia harus segera menyelidiki penebangan kayu dan deforestasi yang terhubung dengan TPL, baik di dalam konsesi maupun di luarnya, kemudian meminta pertanggungjawaban hukum sesiapa yang terlibat dan atau mendalangi kejadian tersebut, serta memaksa para pelaku dan dalangnya bertanggung jawab terhadap pemulihan area dan ekosistem yang dirusak tersebut. Selain itu, kebijakan pemerintah yang masih membuka ruang konversi terhadap hutan alam, termasuk untuk pengembangan komoditas monokultur, seharusnya ditiadakan. Pemerintah pun harus menerbitkan regulasi yang melindungi seluruh hutan alam tersisa, sebagai safeguard atas perannya menopang ketangguhan terhadap bencana, serta pelestarian keragaman hayati dan perlindungan terhadap ruang hidup masyarakat adat dan atau lokal.
Sementara itu, pembeli internasional produk rayon harus menyelidiki rantai pasoknya untuk memastikan tidak membeli produk yang terhubung dengan PT Toba Pulp Lestari atau perusahaan pelaku deforestasi lainnya di Indonesia.

Rekomendasi
Pemerintah Indonesia harus:
- Menyelidiki praktik illegal logging di konsesi TPL sektor Aek Raja dan sekitarnya untuk meminta pertanggungjawaban hukum pihak-pihak yang melakukan, terlibat, dan mendalangi kegiatan tersebut. Penyelidikan ini semestinya termasuk untuk mengetahui apakah ada dugaan korupsi atas diamnya otoritas selama ini.
- Menerbitkan regulasi yang memastikan adanya perlindungan hukum terhadap hutan alam tersisa di Indonesia, termasuk di Area Penggunaan Lain (APL). Adanya regulasi seperti ini akan sangat membantu dan memudahkan publik memantau keberadaan hutan alam karena setiap deforestasi akan secara otomatis melanggar hukum.
PT Toba Pulp Lestari harus:
- Memastikan tiadanya pembabatan hutan alam baik di dalam konsesinya maupun melalui skema kemitraannya dengan pihak ketiga, termasuk masyarakat.
- Memulihkan area-area deforestasi, terutama yang teridentifikasi oleh laporan Auriga/Earthsight ini, dengan vegetasi-vegetasi berkayu setempat.
- Merilis rencana kerja tahunan (RKT) perusahaan, termasuk peta areal kerja. Ke depan, setidaknya peta areal kerja ini semestinya dirilis sebelum RKT berlaku.
- Mengimplementasikan praktik konservasi terhadap area-area dilindungi dalam perusahaan, baik habitat spesies langka dan dilindungi maupun area High Conservation Value (HCV) dan High Carbon Stock (HCS).
Asia Pacific Rayon harus:
- Sesegera mungkin menghentikan sementara pembelian serat kayu dari PT Toba Pulp Lestari, hingga adanya penyelidikan tuntas mengenai deforestasi di dalam konsesi TPL maupun skema kemitraannya dengan pihak ketiga.
- Meningkatkan kualitas transparansi pada rantai pasoknya, termasuk mengembalikan pengoperasian “Follow Our Fibre” secara terbuka.
- Mematuhi kebijakan keberlanjutannya dengan menghentikan pembelian kayu pulp apapun dari area yang terdeforestasi, termasuk dari Sektor Aek Raja dan sekitarnya yang diidentifikasi oleh Auriga/Earthsight ini.
Perusahaan Eropa, Inggris, dan Amerika yang menjual produk rayon harus:
- Sesegera mungkin bertanya mendalam kepada para pemasoknya dan memastikan bahwa tidak ada bahan bakunya yang berasal dari PT Toba Pulp Lestari.
- Mengalihkan pembelian mereka ke produsen rayon dengan rekam jejak yang jauh lebih baik, seperti yang diidentifikasi oleh Canopy.


