Perkebunan sawit PT SML mengancam spesies yang terancam punah dan ekosistem yang penting. Menurut assessment yang dilakukan oleh perusahaan, perkebunan PT SML memiliki area Nilai Konservasi Tinggi (HCV) seluas 4.832,83 hektar, yang merupakan hampir 18 persen dari total luas perkebunan (26.995,46 hektar). Kawasan tersebut berisi populasi spesies yang terancam punah, ekosistem yang penting untuk penyediaan air dan pencegahan banjir bagi masyarakat di hilir, serta kawasan yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk persediaan makanan dan bangunan.
Pada 2014, PT Sonokeling Akreditas Nusantara melakukan penilaian NKT atas nama PT SML, sebagai prasyarat untuk penanaman baru oleh anggota RSPO. Namun, penyelidikan lapangan oleh Environmental Investigation Agency (EIA) dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menemukan beberapa indikasi bahwa perusahaan melakukan penilaian dengan tidak benar. Salah satu indikasinya adalah bahwa angka PT SML untuk kawasan NKT tampaknya hanya mencakup kawasan-kawasan seperti pegunungan dan bantaran sungai, di mana hukum Indonesia memang melarang penanaman sawit di kawasan tersebut karena kepentingan ekologisnya.
Selain itu, laporan penilaian mencatat keberadaan trenggiling sunda (manis javanica) di dalam konsesi, tetapi PT SML tidak mengidentifikasinya dengan benar sebagai spesies yang terancam punah. Kawasan NKT yang diidentifikasi dalam penilaian PT SML tampaknya tidak cukup terhubung satu sama lain dengan Kawasan Konservasi Belantikan dan Suaka Margasatwa Lamandau di dekatnya, untuk menopang populasi orangutan borneo, macan dahan, flora yang terancam punah, dan puluhan spesies lainnya.