. PLTA Batang Toru, Sumatera Utara ©Andrew Walmsley

Analisis: PLTA Batang Toru tidak dibutuhkan


Saat diusulkan 2012 lalu, mungkin dia dibutuhkan. Tapi, kini sudah telat, karena Sumatera Utara sudah hampir sepenuhnya terelektrifikasi.

JAKARTA, 22 JANUARI 2020 – Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru yang dibangun dengan anggaran USD 1,6 miliar (setara Rp 23,7 triliun) bukan hanya tidak diperlukan untuk memenuhi kebutuhan listrik Sumatera Utara pada waktu mendatang, tapi juga mengancam kelangsungan orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis).

Hal itu terungkap laporan berjudul Analisis Kebutuhan Listrik di Provinsi Sumatra Utara dan Dampak Rencana Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru (2020). Laporan yang ditulis Dr. David Brown, seorang principal di Brown Brothers Energy and Environment (B2E2), ini menemukan:

  1. Sumatera Utara hampir sepenuhnya terelektrifikasi, dan pemadaman bergilir sudah tidak terlalu banyak terjadi. Provinsi ini bahkan memiliki surplus energi. Dengan tambahan pembangkit listrik peak power bertenaga gas di 2017 dan perbaikan lain dalam infrastruktur jaringan, pembangunan PLTA Batang Toru tidak akan meningkatkan akses atau rata-rata suplai energi di provinsi ini.

  2. PLTA Batang Toru tidak akan menggantikan “pembangkit listrik bertenaga diesel yang disewa dari luar negeri,” karena nyatanya, tidak ada pembangkit listrik seperti yang disebutkan di Sumatra Utara. Yang ada adalah pembangkit listrik terapung tenaga gas sewaan. Bagaimanapun, implikasi perubahan iklim dan neraca pembayaran dari menggunakan bahan bakar gas berbeda dengan diesel.

  3. Terdapat klaim yang menyatakan bahwa dengan mengoperasikan PLTA Batang Toru akan menghasilkan reduksi sangat kecil .0016 hingga .0022 gigaton emisi CO2 per tahun. Angka yang sangat kecil ini bahkan merupakan overestimasi. Reduksi yang mungkin terjadi oleh Batang Toru kemungkinan besar berada di antara angka .0007 hingga .001 gigaton CO2 per tahun. Terlepas dari itu, reduksi emisi potensial merepresentasikan hanya sepersepuluh dari emisi tahunan Indonesia, dengan biaya lingkungan yang sangat besar.

  4. Terlepas dari upaya para pemilik dan pendukung PLTA Batang Toru untuk memperlihatkan citra Batang Toru sebagai penghasil peak power, hanya setengah dari output-nya yang merupakan peak power. Sisanya adalah baseload power.

  1. Kebutuhan terhadap kapasitas peak power PLTA Batang Toru yang diusulkan sudah semakin bekurang, karena adanya pembangkit listrik terapung tenaga gas 240 MW, dan kemungkinan pembangunan pembangkit listrik peak power tenaga gas 800 MW yang akan mulai beroperasi pada 2022 (diperkirakan 200 MW), 2024 (diperkirakan 300 MW) dan 2028 (diperkirakan 300 MW). Seperti PLTA Batang Toru, pembangkit listrik tenaga gas ini menghasilkan peak power pada malam hari dan bisa juga pada siang hari jika dibutuhkan.

  2. Kontribusi PLTA Batang Toru yang diajukan pada baseload power provinsi sendiri sudah tidak diperlukan karena operasi pembangkit listrik geothermal 330 MW Sarulla pada 2017 dan 2018, dan mungkin akan makin tidak diperlukan lagi setelah “ekspansi” 300 MW Sarulla yang dimulai pada 2022, serta “kemungkinan besar” pembangunan pembangkit geothermal 240 MW di Sorik Marapi.  Opsi lain yang baik untuk produksi peak power saat siang hari adalah tenaga matahari, yang perlu diberikan perhatian lebih lanjut oleh Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan dan PLN.

  3. Batang Toru tidak akan menghentikan operasi pembangkit listrik tenaga diesel, dan juga tidak akan meringankan dampak neraca pembayaran negatif negara yang disebabkan oleh impor diesel. Tetapi, modal tinggi yang diperlukan untuk membangun PLTA Batang Toru akan berdampak pada keluarnya sejumlah besar dollar dari Indonesia ke rekening bank kontraktor Tiongkok yang akan membangun pembangkit listrik tersebut selain juga perusahaan induk Tiongkok yang memiliki mayoritas pembangkit listrik, seluruhnya merugikan neraca pembayaran Indonesia.

  4. Sinohydro, kontraktor yang akan membangun PLTA Batang Toru memiliki rekam jejak global terkait penipuan, praktik non-standar, dan korupsi di tiga benua, seluruhnya memperlihatkan bahwa Batang Toru memiliki resiko konstruksi dan operasi yang signifikan.

  5. Proyeksi Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan yang terlalu besar tentang kebutuhan energi mungkin telah berkontribusi terhadap konstruksi pembangkit listrik di Sumatra Utara yang terlampau banyak. Hal ini mungkin memiliki sisi positif, seperti banyaknya pengganti yang tersedia untuk peak power (Poin 5 di atas) dan baseload power (poin 6 di atas) yang seharusnya dihasilkan oleh PLTA Batang Toru, namun tanpa mengancam kekayaan nasional Indonesia yang terkenal, orangutan tapanuli yang terancam punah.

Dijauhi pemberi pinjaman?
Bendungan hidroelektrik ini pertama kali diumumkan tahun 2012. Kini proyek tersebut menjelma menjadi PLTA Batang Toru. Proyek yang dibangun North Sumatra Hydro Energy (NSHE) ini meliputi pembangunan gardu listrik, gardu induk, terowongan headrace dan tailrace, reservoir, pelimpah serta infrastruktur pendukungnya, instalasi turbin, generator dan transformer, dan peletakan jalur transmisi. Ditaksir akan membutuhkan biaya USD 1,6 miliar atau setara Rp 23,7 triliun, proyek dijadwalkan rampung tahun 2022.

Pemberi pinjaman tradisional enggan mendanai proyek ini karenakan ancamannya terhadap spesies endemik orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) dan minimnya manfaat proyek. Bank pembangunan multilateral World Bank Group, telah menarik diri dari proyek ini. Asian Infrastructure Investment Bank juga dilaporkan telah menolak pendanaan proyek. Demikian juga bank-bank investasi swasta, seperti Goldman Sachs. 

Meski kontraktor proyek ini, Sinohydro, berasal dari China, tapi Bank of China pun dikabarkan telah menyatakan mengundurkan diri dari pendanaan proyek tersebut.

”Saya senang pembangkit [listrik] yang sustainable, environmentally friendly, dan pollutant-free. Microhydro dan minihydro, run-off type adalah jawabannya, sebab Indonesia [memiliki] banyak sungai dan ini harus dijaga dengan catchment area yang benar agar debit airnya terus mengalir seperti yang sudah direncanakan” ungkap Tri Mumpuni.

Fragmentasi habitat orangutan tapanuli dan harimau sumatera
Sejak diumumkan pada 2012, proyek ini telah dikritik, terutama oleh aktivis lingkungan, karena dikhawatirkan merusak ekosistem hutan yang menopang kehidupan penduduk lokal, terutama yang tinggal di hilir. Pencaharian penduduk bergantung pada keberadaan ekosistem ini, seperti perikanan dan agrikultur. Kekhawatiran ini mendorong aktivis lingkungan, termasuk internasional, mendesak penghentian proyek.

Batang Toru sendiri merupakan ekosistem yang kaya biodiversitas. Setidaknya terdapat 310 spesies burung, 80 spesies reptil, 64 spesies katak dan kodok, dan lebih dari 1.000 spesies tumbuhan mengisi ekosistem ini. Enam di antaranya tergolong rentan dan terancam punah, termasuk siamang (Symphalangus syndactylus), owa ungko (Hylobates agilis), yang bersama dengan orangutan tapanuli menjadikan Batang Toru salah satu dari sedikit ekosistem di dunia di mana tiga spesies kera bisa hidup berdampingan. Beruang madu (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus indicus), burung kuau raja (Argusianus argus) juga hidup di ekosistem ini. Bahkan, harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) pun terdapat di Batang Toru.

Demikianlah, PLTA Batang Toru ditentang karena dikhawatirkan merusak ekosistem yang sedemikian kaya dan unik. Apalagi kemudian akademisi dan konservasionis menyepakati bahwa orangutan yang hidup di hutan Sumatera Utara merupakan spesies tersendiri, dan dinamai orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), tentangan pun meninggi. Adanya PLTA Batang Toru dikhawatirkan akan memisahkan (fragmenting) habitat orangutan tapanuli secara permanen sehingga berkontribusi terhadap kepunahannya. Patut dicatat bahwa populasi orangutan tapanuli seluruhnya kurang dari 800 individu, dan dengan ancaman seperti ini menjadikannya sebagai kera besar paling terancam punah di dunia.

Laporan tersebut di atas mengakui bahwa dari segi teknis PLTA Batang Toru dirancang dengan baik. Namun demikian, laporan tersebut juga menengarai infrastruktur proyek tersebut berpotensi menghancurkan atau mengisolasi 3 dari 5 blok habitat orangutan tapanuli yang ada saat ini.  Mimi Surbakti juga menyatakan, ”Pemenuhan energi listrik harusnya tidak mengorbankan kelestarian lingkungan yang berdampak pada pemunahan satwa langka yang dilindungi. Pemerintah harusnya mampu memberikan keadilan ekologi untuk menyelamatkan ruang hidup bagi masyarakat dari sumber-sumber kehancuran dan eksploitasi alam.”

Hentikan PLTA Batang Toru  
Ketika dikumandangkan pertama kali, hampir sepuluh tahun lalu, pembangkit listrik tenaga air bisa jadi merupakan jawaban. Saat itu kelangkaan listrik di Sumatera Utara memang terjadi. Di sisi lain, tutupan hutan di Sumatera Utara pun tidak sekritis sekarang akibat deforestasi masif dan fragmentasi hutan. 

Tapi, situasi sekarang sudah berbeda jauh. Sumatera Utara sudah hampir sepenuhnya terelektrifikasi, sementara pilihan sumber energi lain yang terbarukan juga tersedia.

”Analisis ini telah mempertimbangkan pro dan kontra yang terjadi selama ini, dan kesimpulannya adalah PLTA Batang Toru bukanlah infrastruktur yang dibutuhkan Sumatra Utara. Karena itu, proyek ini seyogianya dihentikan, atau paling tidak ditinjau kembali,” pungkas Iqbal Damanik, Direktur Pertambangan dan Energi Auriga Nusantara.(*) 

LAPORAN SELENGKAPNYA



Catatan: 
Diperbaharui dari rilis sebelumnya: (22 Januari 2020) Analisis: Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru Tidak Dibutuhkan