Deforestasi di bekas HPH di Kalimantan Tengah. Hutan alam seperti terancam deforestasi oleh kebijakan land-swap, @Auriga Nusantara 2018

Kebijakan land-swap: Setengah hati lindungi gambut & hutan alam


Land-swap mestinya hanya: (1) seluas hutan tanaman yang terkena restorasi; (2) bukan hutan alam; (3) bukan wilayah kelola masyarakat adat/lokal.

Diperbaharui 16 Juli 2020--Belajar dari kebakaran hebat 2015, Pemerintah Indonesia berupaya melindungi dan memulihkan lahan gambut. Badan Restorasi Gambut dibentuk. Regulasi dan kebijakan dikebut. Area prioritas restorasi gambut pun ditetapkan, yakni pada 7 provinsi yang yang terbakar hebat tahun 2015. Sejumlah 16% (2,1 juta hektar) dari total 12,9 juta hektar gambut di 7 provinsi tersebut menjadi area prioritas restorasi gambut. Di antara semua upaya tersebut, termasuk larangan pembukaan atau eksploitasi lahan gambut oleh perusahaan hutan tanaman industri (HTI).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) lantas menerbitkan kebijakan land-swap, yakni kebijakan pemberian konsesi di tanah mineral sebagai kompensasi terhadap lahan-lahan perusahaan kehutanan yang terkena dampak kebijakan perlindungan dan pemulihan lahan gambut. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 40/MENLHK/SETJEN/ KUM. 1/6/2017 Tentang Fasilitasi Pemerintah Pada Usaha Hutan Tanaman Industri Dalam Rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang diterbitkan pada Juli 2017 (selanjutnya disebut P.40/2017). 

Koalisi Anti Mafia Hutan mencoba menelusuri lebih lanjut, dan menemukan bahwa peta land-swap dapat diidentifikasi melalui peta arahan pemanfaatan hutan yang diterbitkan KLHK melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK.4732/MenLHK-PHPL/KPHP/HPL.0/9/2017 tentang Peta Indikatif Arahan Pemanfaatan Hutan Produksi yang Tidak Dibebani Izin Untuk Usaha Pemanfaatan Hutan (selanjutnya disebut SK 4732). Alokasi untuk land-swap tersebut teridentifikasi pada lampirannya. Teridentifikasi bahwa hampir 1 juta hektare dialokasikan untuk land-swap.

Penentuan area yang tidak transparan seperti ini tentu mempersempit ruang partisipasi publik. Atas nama perlindungan gambut, proses yang tidak transparan dan akuntabel tersebut sangat membahayakan bagi hutan-hutan alam tersisa, seperti di Kalimantan, Sumatera, dan Papua, karena bisa saja ditetapkan sebagai area land swap untuk kemudian dikonversi menjadi konsesi HTI. Meski di beberapa tempat area tersebut sudah tidak kompak (fragmented) atau bahkan berupa belukar muda, tetapi tutupan hutan seperti itu tetap saja berfungsi penting sebagai ekosistem yang memiliki cadangan karbon yang menjaga perubahan iklim dan habitat keragaman hayati. Di sisi lain, pengalokasian sepihak seperti di atas juga akan berpotensi menambah konflik dengan masyakarat adat/lokal yang bisa jadi telah mendiami atau mengelola area itu sejak jauh sebelumnya.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Koalisi Anti Mafia Hutan mengusulkan agar area yang di-land swap hanyalah berdasarkan hutan tanaman saat ini (existing plantation only), dan bukan berdasarkan luas izinnya; bukan merupakan hutan alam; dan bukan hutan yang dikelola masyarakat adat/lokal.
 
Dengan prasyarat demikian, alokasi land-swap semestinya memakai 3 (tiga) kriteria berikut:
  1. Memprioritaskan area kawasan hutan negara berizin pada tanah mineral yang selama ini tidak dioperasikan (izin tidur);
  2. Bukan merupakan hutan alam, termasuk hutan alam yang terdegradasi;
  3. Bukan merupakan wilayah kelola masyarakat adat/lokal baik yang sudah dikelola maupun area pencadangan.


Pernyataan selengkapnya



Catatan: 
Diperbaharui dari rilis sebelumnya: