Gambar drone yang menunjukkan pembukaan lahan gambut (land clearing) di konsesi HTI Muara Sungai Landak, Kalimantan Barat. Tampak juga rintisan kanal di bagian baratnya. 2017 ©Auriga Nusantara

Deforestasi di Muara Sungai Landak, konsesi terhubung APP


Analisis citra dan pantauan lapangan, termasuk gambar drone, menunjukkan pembabatan hutan alam di konsesi HTI Muara Sungai Landak, di Kalbar.

Diperbaharui 25 Juli 2020–Sekilas, adalah biasa sebuah konsesi hutan tanaman industri (HTI) melakukan tebang habis (land clearing). Bagaimanapun, HTI memang dimungkinkan melakukan praktek ini.

Tapi, tebang habis jelas menjadi pertanyaan serius bila terjadi di konsesi HTI PT Muara Sungai Landak (MSL), Kalimantan Barat. Karena, perusahaan ini terhubung dengan Asia Pulp & Paper (APP), kelompok usaha yang pada 1 Februari 2013 menyatakan komitmen keberlanjutan yang di antaranya tidak menebang hutan alam dan melindungi gambut bertutupan hutan di dalam konsesinya.

Pembukaan gambut untuk pembangunan hutan tanaman di konsesi HTI Muara Sungai Landak, Kalimantan Barat.

Peta deforestasi dan gambar drone lahan konsesi HTI PT Muara Sungai Landak di Kalimantan Barat, dipotret pada rentang 2014–2017. Terlihat kerusakan hutan alam dan pembangunan hutan tanaman Akasia di lahan gambut, di konsesi HTI tersebut.

Adalah kantor berita Associated Press yang pada Desember 2017, setelah membaca sekitar 1.100 halaman dokumen perusahan, menemukan keterhubungan kepemilikan/manajemen antara MSL dengan APP dan konglomerasi induknya Sinarmas Grup. Meski begitu, APP tidak mencantumkan MSL sebagai pemasok kayunya. Padahal, setidaknya sepuluh tahun lalu Sinar Mas Forestry, salah satu divisi APP, terindikasi mencantumkan MSL dalam rencana ekspansinya.

Menanggapi temuan Associated Press tersebut, Greenpeace, yang saat itu menjalin hubungan dengan APP, pun menelisiknya. Temuannya? Mengkonfirmasi temuan Associated Press. Greenpeace kemudian memutus hubungan dengan APP.

Deforestasi dan pembukaan gambut di HTI PT Muara Sungai Landak, Kalimantan Barat. Perusakan gambut demi pembangunan hutan tanaman akasia oleh anak usaha Sinarmas Grup. Padahal, konsesi seluas 13.000 hektare ini sepenuhnya berada di lahan gambut, dan 85% arealnya ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai zona lindung gambut. Sumber: Landsat 8, diunduh dari Earth Explorer

Menanggapinya, APP mengaku menginvestigasi hal tersebut, dan menemukan tiga pemegang saham MSL pernah atau sedang bekerja di APP. Menurut APP, staf yang sedang bekerja di APP dengan keterhubungan seperti itu merupakan pelanggaran aturan internal APP, sehingga diberhentikan.

Yang menjadi soal adalah APP merupakan bagian dari Sinarmas Grup, yang dimiliki atau dikendalikan Widjaja-family, namun komitmen keberlanjutan APP tidak berlaku pada seluruh entitas Sinarmas Grup. Terhadap entitas lain di dalam Sinarmas Grup yang teridentifikasi melakukan deforestasi, APP berkilah “… bukan milik APP, sehingga tidak memiliki otoritas terhadapnya…”

Keenam orang dalam grafis pernah/sedang bekerja untuk APP pada saat yang sama tercatat sebagai pemegang saham dan atau komisari/direktur/karyawan PT Muara Sungai Landak dan perusahaan induknya. Sumber: Mongabay.

Dan itulah yang tampaknya juga dipakai ketika deforestasi dan atau pembukaan lahan gambut terungkap di MSL. Strait Times menemukan APP mengunggah ke situsnya peta kebakaran hutan di konsesi mitranya di Kalimantan Barat, yang mana MSL termasuk di antaranya. Bahkan, penelusuran Mongabay mengindikasikan bahwa staf tersebut justru dipakai namanya pada arsip resmi perusahaan (nominee structure). 

Pemantauan ketat terhadap praktik pengelolaan hutan Sinarmas Grup diperlukan, terutama setelah korporasi ini membangun pabrik pulp raksasa pabrik pulp raksasa di Sumatera Selatan OKI Mill. Di pulau ini, Sinarmas juga mengoperasikan pabrik pulp Lontar Papyrus di Jambi dan Indah Kiat Pulp & Paper (IKPP) di Riau. Dioperasikannya OKI Mill sejak Desember 2016 mengakibatkan kebutuhan kayu tahunannya meningkat 75% sementara rencana pasokan jangka panjangnya tidak meyakinkan. Padahal, korporasi ini memiliki sejarah panjang perusakan hutan alam dan lahan gambut hingga Forest Stewardship Council (FSC) memutuskan hubungan (disassociation) pada 2007. 

OKI Mill, pabrik pulp raksasa milik APP/Sinarmas di Sumatera Selatan. Dibangun dengan pinjaman US$ 2.5 billion dari China Development Bank dan ICBC Financial Leasing. Sejak perencanaannya, pendirian pabrik ini telah dikritik, terutama karena ketidakpastian bahan bakunya. Tapi, APP/Sinarmas tak hirau, dan mengoperasikannya sejak Desember 2016.

Konsesi Sinarmas Grup juga kerap mengalami kebakaran. Mengingat Pemerintah Indonesia berupaya keras merestorasi gambut pasca-kebakaran hebat 2015, pembukaan gambut di MSL berpotensi menggagalkan upaya tersebut.