POIN KUNCI

  • Sekitar 70% bentang alam harimau tidak dalam status dilindungi.
  • Populasi harimau menurun lebih dari 10% sejak 2008, dan kepunahan lokal terjadi di setidaknya 4 bentang alam harimau sejak 2010. Tidak hanya perburuan dan konflik dengan manusia, harimau sumatera juga mengalami ancaman penyakit, terutama canine distemper virus (CDV) yang mematikan dan african swine fever (ASF) yang menghabiskan pakan utama harimau, yakni babi hutan.
  • Perburuan harimau sumatera relatif tinggi, dan kinerja penegakan hukum cenderung meningkat untuk membongkar jaringan pelaku. Namun begitu, perlu diprioritaskan kepada level pelaku/pedagang yang terhubung ke luar negeri.
  • Indonesia tidak hanya menjadi tempat perburuan, tapi juga sekaligus pasar-akhir perdagangan harimau.
  • Konservasi spesies di Indonesia, termasuk harimau sumatera, semestinya berbasis pada sains (scientific-based management).

 

RINGKASAN
Tahun 2008 populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) sebanyak 439 individu, menurun menjadi 393 individu pada 2017. Artinya, terjadi penurunan populasi lebih dari 10% pada rentang waktu tersebut. Tidak hanya penurunan populasi, harimau sumatera juga mengalami penurunan jumlah bentang alam. Pada 2010 harimau sumatera ditemukan pada 27 bentang, menurun menjadi 23 bentang alam pada 2015, atau terjadi kepunahan lokal di 4 bentang alam hanya dalam kurun 5 tahun tersebut. Fakta-fakta ini dibeber Hariyo T. Wibisono, atau biasa disapa Beebach, pada webinar Status Konservasi Harimau yang diselenggarakan Auriga Nusantara pada 30 November 2021.

60-70 persen (bentang alam) harimau sumatera berada di luar kawasan yang dilindungi,” simpul Beebach, yang juga merupakan Direktur Sintas Indonesia.

Ahmad Faisal, Ketua Forum HarimauKita, menyebut bahwa ancaman terhadap harimau sumatera juga datang dari penyakit, terutama karena pemerintah belum secara serius mengantisipasi ancaman penyakit terhadap eksistensi harimau ini. Dua penyakit yang sudah terkonfirmasi berdampak pada harimau sumatera adalah demam babi afrika (african swine fever - ASF) dan canine distemper virus (CDV). CDV adalah virus yang menjangkiti harimau yang sangat mematikan. ASF sendiri tidak menjangkiti harimau, melainkan sangat mematikan bagi babi hutan. Karena babi hutan merupakan salah satu pakan utama harimau sumatera, maka ancaman terhadap babi hutan pada akhirnya akan mengancam kelangsungan hidup harimau sumatera.

Faisal menambahkan bahwa perburuan harimau juga merupakan ancaman serius. Terbukti ditemukannya 3.285 jerat di 6 bentang alam harimau sumatera pada 2012 – 2019.

Dwi Adhiasto, Pendiri Science for Endangered and Trafficked Species (SCENTS), menyajikan data-data yang menciutkan hati mengenai perburuan harimau sumatera, namun di saat yang sama tidak diimbangi dengan kinerja penegakan hukum yang memadai.

Mengkompilasi kasus perdagangan illegal satwa yang melibatkan harimau sumatera sepanjang 2010 – 2021, barang bukti seluruh kasus tersebut merepresentasi setidaknya 189 individu harimau sumatera. Bila dikerucutkan dalam 5 tahun terakhir ditemukan sebanyak 132 individu harimau dalam kasus-kasus perdagangan illegal satwa.

Kasus/perkara harimau di Indonesia itu tidak hanya harimau sumatera. Ada harimau bengal, harimau siberia. Indonesia memang dipandang sebagai bagian dari jaringan dan pasar internasional, sebagai source site (sumber harimau) dan juga sebagai market,” imbuh Dwi.

Di sisi lain, hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana pedagang dan penampung harimau sangat rendah, rata rata 2,5 tahun, berbeda dengan hukuman terhadap pemburu yang pernah mencapai 4 tahun. Rendahnya hukuman di level pedagang dan penampung ini menyebabkan mereka tidak jera menjalankan lagi bisnis ilegalnya sekeluar dari penjara. Padahal para pedagang dan penampung ini dapat membeli harimau dari berbagai kelompok pemburu. Denda pun relatif kecil, sejauh ini paling tinggi Rp 100 juta. Persoalannya, denda ini dimungkinkan diganti (subsider) dengan kurungan penjara 2 bulan. Artinya, penegakan hukum tidak menghadirkan efek jera (deterrent effect).

Berhadapan dengan situasi ini, semua narasumber di atas, demikian juga Moch. Saleh, program senior manager TFCA Sumatera, konservasi harimau sumatera ke depan memerlukan kejujuran melihat situasi lapangan dan melandaskan pada kajian ilmiah yang memadai. Hal ini menimbang bahwa pemerintah saat ini tidak membuka informasi secara memadai ke publik, dan juga belum menempatkan jawaban terhadap persoalan di atas sebagai program utama konservasi harimau. Terlihat, misalnya, dari terkatung-katungnya pengesahan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera. Padahal, itu diperlukan tidak hanya bagi perencanaan anggaran pemerintah, tapi juga memandu parapihak melakukan aktivitas di lapangan.

Seluruh acara dapat disimak di kanal youtube Auriga Nusantara.

 

NARASUMBER

Auriga juga mengundang Ditjen KSDAE KLHK menjadi narasumber, namun berhalangan hadir. 

Kinerja Konservasi Badak Sumatera

Penurunan populasi badak sumatera sangat cepat bahkan kurang dari 1 generasi, sehingga perlu tindakan bersama dalam pengambilan keputusan yang berdasa...

Neglected Spesies #1: Status Konservasi Macan Tutul Jawa

Bedasarkan hasil Population Viability Analysis (PVA) di prediksi dalam 100 tahun akan mengalami kepunahan lokal di 19 dari 22 kantong tersisa.

Ibu Kota Negara dalam Hutan, Mungkinkah?

Ibu Kota Negara dikhawatirkan menambah deforestasi. Padahal, Indonesia berkomitmen turut berperan mengendalikan pemanasan global.

Konservasi Orangutan dan Penegakan Hukum

Perburuan dan perdagangan ilegal orangutan menjadi salah satu ancaman utama orangutan. Lantas, bagaimana kinerja penegakan hukumnya?